
Tahlilan merupakan suatu tradisi yang sangat melekat dengan umat muslim di seluruh Indonesia. Tahlilan biasanya dilakukan hingga 7 hari lamanya. Tahlilan berawal dari orang pada zaman dahulu, di mana agama Islam belum ada, setiap ada orang yang meninggal dunia akan mengadakan acara lek-lekan (begadang) untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan. Setelah datangnya agama Islam yang dibawa oleh para wali, budaya lek-lekan tersebut diganti menjadi tahlilan dengan bacaan beberapa surat dalam al-qur’an serta kalimat-kalimat toyyibah sebagai doa untuk orang meninggal. Tahlilan umumnya dilakukan pada hari-hari tertentu, mulai dari hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, hingga ke-1000. Walaupun merupakan hal yang sangat lazim, namun tahlilan juga menuai pro dan kontra. Orang-orang yang kontra terhadap tahlilan menilai bahwa tahlilan merupakan tradisi yang dilakukan oleh umat Hindu, dan tidak pernah dilakukan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Lalu, bagaimana tanggapan para ulama mengenai hal ini? Terdapat beberapa ulama yang mengkaji mengenai masalah tahlilan ini, yaitu Imam as-Syaukani dan Ibnu Taimiya.
Imam as-Syaukani menyatakan bahwa tradisi berkumpul untuk membaca al-qur’an kepada orang yang meninggal diperbolehkan. Pernyataan tersebut dikutip dari buku Tahlilan Bukan Pesta Kematian: Meluruskan Pemahaman Tahlilan tulisan Abdul Aziz, yaitu tradisi yang biasa dilakukan di sebagian negara yaitu berkumpul di satu masjid, rumah, dan tempat-tempat berkumpul lainnya untuk membaca al-qur’an kepada orang yang meninggal yang tidak dijumpai dalam ajaran, maka tidak diragukan lagi diperbolehkannya tradisi (tahlilan) tersebut. Karena pada hakikatnya setiap perkumpulan tidaklah diharamkan. Kemudian, tidaklah tercela apabila diniatkan untuk orang yang meninggal, sama halnya dengan membaca Surat Yasin atau surat lainnya di dekat orang yang meninggal atau di atas kuburannya. Hal tersebut senada dengan hadits shahih: “Bacakanlah Surat Yasin atas orang yang meninggal”. Kesimpulan yang dikatakan oleh Imam as-Syaukani tersebut tentunya disandarkan pada hadits-hadits sahih.
Kemudian dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abi Sa’id al-Khudri RA, Rasulullah SAW bersabda:
“Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah SWT, kecuali mereka akan dikelilingi malaikat, dan Allah SWT akan memberikan rahmat-Nya kepada mereka, memberikan ketenangan hati dan memujinya di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (HR. Al-Muslim, 4868).
Rasulullah SAW juga mengajurkan umatnya untuk berdzikir dan membaca al-qur’an kepada orang yang meninggal. “Barangsiapa yang ikut serta membantu orang yang meninggal dengan membaca al-qur’an dan berdzikir, maka Allah swt akan membalasnya dengan surga”.
Ibnu Taimiyah juga menyampaikan pendapat yang senada, menurutnya berkumpul untuk berdzikir dan memberikan doa untuk orang meninggal maupun masih hidup merupakan salah satu amal shalih dan sebaik-baiknya ibadah dalam waktu tertentu. Hal tersebut tercantum dalam hadits sahih yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW , bahwa sesungguhnya Allah swt memiliki malaikat yang mengelilingi bumi, apabila melewati satu kaum yang sedang berdzikir, maka mereka berteriak memanggil “Kemarilah untuk menunaikan hajat kalian”.
Kedua ulama tersebut, Imam as-Syaukani dan Ibnu Taimiya memberikan pemikiran mereka berdasarkan al-qur’an dan hadits. Dapat disimpulkan bahwa, melakukan tahlilan diperbolehkan dan tidak termasuk bid’ah, karena dalam tahlilah tersebut sesame muslim saling mendoakan, yang mana itu adalah amal yang baik. Tentunya, karena pernyataan yang disampaikan oleh kedua ulama tersebut berpegang pada al-qur’an dan hadist, hal tersebut menjadi jawaban yang pasti untuk orang-orang yang masih ragu akan hukum dari tahlilan.